Gambar dari sini |
Pagi ini, salah satu grup whatsapp yang saya ikuti, dihebohkan dengan cerita dari salah seorang anggota. Anggota ini ialah seorang ibu yang selain punya tanggung jawab atas anaknya, beliau juga punya tanggung jawab di ranah publik, yakni sebagai seorang karyawan. Dilema yang dirasakan adalah ketika harus menitipkan pengasuhan dan pendidikan dini anak kepada pihak ketiga karena ketidaksanggupannya melepas pekerjaannya saat ini dikarenakan berbagai pertimbangan.
Lain waktu, saya pun pernah mendengar keinginan seorang ibu yang belum pernah mencicipi kerja kantoran. Beliau sudah mempunyai anak, namun ingin sekali bisa bekerja menjadi pegawai kantor. Pengalaman kerja yang pernah beliau coba setidaknya adalah menjadi asisten dosen, mengajar privat, atau bekerja di laboratorium kampus. Melihat teman-temannya banyak yang menjadi pegawai kantoran, beliau pun mencoba untuk memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan. Namun memang masih belum rezekinya memperoleh pekerjaan yang diinginkan sampai sekarang.
Bagaimana dengan saya?
Saya sendiri, mungkin termasuk ibu yang berada di posisi pertengahan dari kedua cerita tadi. Mencicipi bekerja di kantor besar di pusat ibukota negara, pernah. Di sana saya bisa lihat dan rasakan bagaimana para karyawan berangkat subuh hari supaya tidak terlambat tiba di kantor, bekerja hingga larut malam, dan pulang bisa sampai tiga jam untuk sampai di rumah karena terjebak kemacetan kota Jakarta. Sebelumnya, bekerja di instansi perbankan yang notabene stres kerjanya tinggi dan dikenal pula dengan istilah kerja rodinya karena tugasnya yang sangat padat. Pernah juga saya bekerja paruh waktu yang lebih santai dan hanya dilakukan ketika ada proyek, yaitu sebagai editor dan petugas data entry. Dan kini, saya bekerja sebagai dosen yang syukurnya masih memiliki waktu yang cukup untuk keluarga.
Wah, senangnya masih memiliki waktu yang cukup untuk keluarga. Mungkin demikian ya, tanggapan beberapa ibu mengenai situasi saya. Tapi, apakah masih ada dilema yang saya rasakan?
Ada. Ternyata tetap ada dilema lho, Bunda.... Saya berharap saya bisa punya lebih banyak waktu untuk menambah wawasan keilmuan saya, mempersiapkan materi kuliah yang akan diajarkan ke para mahasiswa, serta ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan di kampus. Kondisinya sekarang, sangat sulit bagi saya untuk bisa membuka laptop atau komputer di rumah untuk bekerja karena ada si kecil yang pasti ingin ikut mengutak-atik komputer. Saya baru bisa bekerja dengan tenang saat berada di kampus. Namun ini cuma bisa dilakukan maksimal 2x seminggu karena ada pengasuh anak yang bisa membantu di jadwal tersebut. Itu pun si pengasuh sekaligus merangkap sebagai asisten rumah tangga. Jadi saya tidak bisa lama-lama meninggalkan anak dengan si pengasuh berdua saja, karena kalau terlalu lama, nanti malah tugas rumah tangga yang tidak beres-beres. Sementara, orang tua saya menentang sekali saya memasukkan anak ke tempat penitipan anak. Huff... dilema, ya....
Jadi, kalau saya pikir-pikir, sepertinya seluruh ibu terjebak dalam kotak masalahnya masing-masing. Nyaris tidak ada ibu yang berada dalam situasi dan kondisi yang benar-benar sempurna baginya.
Coba kita bayangkan,
Ibu bekerja, dilema karena tidak punya waktu yang cukup untuk membersamai anak...
Ibu rumah tangga, dilema karena ingin mengaktualisasikan diri dengan bekerja di luar rumah...
Punya orang tua dan mertua yang masih dalam usia produktif, dilema karena anak diasuh oleh pihak ketiga...
Punya orang tua atau mertua yang menemani tumbuh kembang anak, dilema karena pola asuh dari mereka tidak sesuai dengan pola asuh yang diinginkan...
Tidak punya asisten rumah tangga, dilema karena rumah selalu berantakan...
Punya asisten rumah tangga, dilema karena karakter orangnya tidak cocok di hati...
Punya asisten rumah tangga yang cocok di hati, eeh dianya malah tidak bisa membantu setiap hari....
Huhuhu... Terus, maunya apa dong?
Rasa dilema akibat ketidakpuasan dengan kondisi yang ada ini sebetulnya muncul karena adanya gap antara kondisi ideal yang kita inginkan dengan kenyataan sebenarnya. Terang saja selalu ada rasa ingin memperoleh yang lebih baik lagi karena kita manusia yang memang diciptakan Allah dengan memiliki beragam keinginan. Lalu bagaimana mengatasinya?
Tarik nafas sejenak dan renungkan....
Bersyukur; mungkin inilah kata kuncinya.
Sadarilah bahwa kondisi tidak ideal yang kita rasakan saat ini bisa jadi adalah kondisi yang diidam-idamkan ibu lain di luar sana.
Bukankan Allah sudah berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu"?
Jadi Bunda, mari kita coba untuk berdamai dengan kondisi saat ini. Terimalah bahwa memang inilah yang dianugerahkan Allah kepada kita. Lihat apa sisi positifnya. Jika belum terlihat sekarang, bisa jadi nanti esok hari setelah kita menjalaninya baru bisa kita rasakan apa makna dibalik ini. Bisa jadi Allah memang ingin menempa kita untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih bijak melaluinya.
Analisislah apa yang menjadi kekuatan dan peluang bagi Bunda. Jika ada satu hal yang membuat kita tidak nyaman, cari tahu apa yang bisa kita perbuat dengan kekuatan kita untuk mengatasi hal tersebut. Temukan peluang yang mungkin kita ambil. Fokuslah pada kekuatan dan peluang tersebut. Jangan lupa selalu iringi usaha kita dengan doa, ya. Setidaknya kita sudah berikhtiar, lalu biarlah Allah yang mengatur hasilnya, bagaimanapun jadinya.
Ini juga merupakan catatan pribadi untuk saya :)
Stay positive, stay strong, Bunda!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar