Cincopa Gallery

...

Kamis, 15 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 10: Susahnya Melatih Eye Contact (2)

Juni 15, 2017 0 Comments
#level1
#day10
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Image result for eye contact shy picture

Akhirnya, hari terakhir dari tantangan 10 hari di level 1 ðŸ˜‰ Alhamdulillah masih keburu posting di rentang waktu yang disediakan. Kali ini saya ingin menuliskan hasil praktik skill intensity of eye contact dua hari terakhir.

Sayangnya, di dua hari belakangan ini, kdalam konteks ini emampuan melatih eye contact saya kembali menurun. Yang saya perhatikan adalah saat saya asyik mengobrol dengan suami, dan suami bertanya tentang suatu hal ke saya, meskipun saya tahu apa yang akan saya katakan--kembali, mata saya menatap ke bawah ketika berbicara. Gara-gara itu, suami merasa saya ingin menyudahi pembicaraan, lalu ikut mengalihkan tatapan matanya dari wajah saya.

Yaaahh.... Sayang sekali.... 😞

Saya pernah membaca salah satu artikel yang menyatakan bahwa jika mata kita menatap ke bawah saat berbincang-bincang dengan orang lain, maka lawan bicara akan mengartikan bahwa kita ingin menyudahi pembicaraan.

Dari sinilah saya simpulkan, tidak hanya suami saya yang menjadi lawan bicara saya pada konteks ini yang menangkap "pesan" tersebut, tetapi juga banyak lawan bicara saya lainnya yang juga menangkap pesan yang sama. Padahal sebenarnya saya tidak bermaksud sama sekali untuk menyudahi pembicaraan... Yaa, ini hanya karena sudah menjadi kebiasaan dari dulu sehingga susah untuk diubah.

Saya akan berlatih terus dalam menguasai eye contact yang intens. Semangaatt!

Rabu, 14 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 9: Aku Ada Untukmu

Juni 14, 2017 0 Comments
Dua hari yang lalu, suami saya pulang sambil menahan amarah. Ada sebuah masalah dengan seseorang yang memang dari dulu selalu mudah menyulut emosinya. Tentu tidak perlu saya ceritakan ya, apa masalahnya, dan dengan siapa.... Yang pasti akibat masalah tersebut, wajah suami bertekuk cukup lama. Ia diam seribu bahasa. Saya tidak berani bertanya lebih lanjut apa penyebab pertengkaran yang ia lalui meskipun saya amat sangat ingin tahu. Saya khawatir jika itu saya lakukan, justru membuatnya mengenang kembali hal yang tidak menyenangkan.

Saya hampiri suami saya lalu langsung memeluknya. Saya katakan padanya untuk jangan menganggap kalau dia sendirian menghadapi semua masalah di hadapannya. Ada saya, yang senantiasa akan mendukungnya. Saya bukan orang lain, bukan juga lawannya, melainkan sayalah orang yang ada di pihaknya.

"Kita ngga saling berkompetisi siapa yang lebih hebat dibandingkan yang lain, Bang.... Kita satu tim!". Saya katakan hal itu sambil menatap matanya.

Suami saya mengangguk, lalu membalas dengan kecupan. Namun, ya, suami melakukan itu tanpa membalas kontak mata dengan saya. Dugaan saya, dia sedikit malu... hehe.

Saya harap, beliau melunak dan mulai mau sedikit lebih terbuka pada saya serta terbiasa berkontak mata dengan saya setiap kami berkomunikasi.

#level1
#day9
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Hasil gambar untuk eye contact quote

Senin, 12 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 8: Bicara dengan Mata

Juni 12, 2017 0 Comments


Hasil gambar untuk eye contact communication


Dua hari berlalu sejak tulisan terakhir saya. Saya sudah mulai mencoba intensity of eye contact manakala berinteraksi dengan suami, namun masih belum bisa konsisten. Saya rasa inilah tantangan tersulit bagi saya terhadap suami. Jadi usaha terkecil yang dapat saya mulai coba lakukan baru sekedar komunikasi dengan tatapan mata saja, tanpa ucapan verbal. Meskipun ini masih terjadi tanpa disengaja, namun saya rasa sudah ada sedikit peningkatan frekuensinya.

Hari pertama, misalnya, di pagi hari, saat si kecil sedang bertingkah menggemaskan, dengan sibuk berceloteh dan senam sendiri di tengah ruang kamar, di antara saya dan suami. Saya melirik suami dengan tatapan yang menyiratkan kegelian, suami pun membalas.

Hari sesudahnya, saat suami pulang dari kantor lalu masuk ke kamar. Sementara saya sedang berbaring di kasur sambil menyusui si kecil yang terlelap. Kami bertatapan mata untuk sepersekian detik yang saya rasa artinya adalah suami menyapa saya, lalu saya membalas sapaannya juga 😄.

Setidaknya baru komunikasi seperti ini yang bisa saya lakukan dalam melatih skill intensity of eye contact. Untuk ke depannya, saya akan berusaha mencoba melatih eye contact sambil bercakap-cakap ke suami.

#level1
#day8
#tantangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Jumat, 09 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 7: Susahnya Melatih Eye Contact

Juni 09, 2017 0 Comments
Beberapa hari terakhir saya stop menuliskan laporan Game Bunsay dikarenakan si kecil mendadak demam. Alhamdulillah hanya berlangsung sehari. Namun saya dan suami tetap waspada mana tahu demam si anak berulang lagi. Kemudian di hari-hari selanjutnya saya yang belum bisa fokus untuk memulai lagi praktik tantangan 10 hari karena memang saya tidak terbiasa menerapkan eye contact selama ini. Kebiasaan dari kecil memang sulit sekali untuk diubah, ya....

Sampai hari kemarin, saya masih berusaha selalu melakukan eye contact ketika bercakap-cakap dengan suami jika saya ingat. Namun tetap belum ada respon balasan berupa tatapan mata dari suami. Pastinya karena memang itu kebiasaan suami juga. Di samping itu menurut saya ada peran saya juga yang memang jarang melakukan eye contact yang intens pada suami sehingga suami pun tidak merasa perlu melakukan hal yang sama pada saya.

Hari ini dan besok, insya Allah, akan saya latih kembali 💪

#level1
#day7
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip
Hasil gambar untuk quote eye contact

Senin, 05 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 6: Sweet Moment with Hubby (2)

Juni 05, 2017 0 Comments
Hari Senin kemarin, saya putuskan untuk mengganti skill komunikasi produktif untuk dilatih karena saya anggap kaidah 7-38-55 sudah dapat saya kuasai. Insya Allah semoga ke depannya saya bisa selalu konsisten. Untuk tahap selanjutnya, saya memilih skill intensity of eye contact untuk saya latih.

#level1
#day6
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Hasil gambar untuk eye contact kohza vivi

Seharian kemarin, saya asyik mengikuti percakapan di grup whatsapp Manajer Keuangan IIP yang sedang membahas agenda kopi darat tahun depan. Ini pertemuan offline pertama kalinya. Saya merasa beruntung karena baru saja dilantik jadi manajer keuangan IIP Padang, dan ternyata langsung dapat undangan kopi darat skala (inter)nasional. Yang sedang asyik diperbincangkan adalah di mana lokasi kopi darat sekaligus workshop keuangan akan diadakan nantinya. Pilihannya sementara ada tiga lokasi: Padang, Singapura, dan Salatiga.

Saat awal-awal diusulkan, saya sudah pernah meminta izin ke suami untuk mengikuti acara ini. Seperti yang saya duga, beliau hanya mau memberi izin kalau lokasinya di Padang. Dan ketika mengatakan hal itu, ada sedikit perasaan yang tidak enak yang terpancar dari ucapannya. Yaa, sepertinya suami merasa agenda saya ini (lagi-lagi) akan buang-buang duit. Huff...

Jadi sambil menikmati obrolan di grup, saya tanyakanlah ke anggota lain, bagaimana tips supaya bisa mendapatkan izin suami dengan mudah. Wah, ternyata cukup banyak versi jawabannya. Pertama, perbanyak doa dari sekarang, karena doa ini senjata manjur seorang istri :) Lalu, jangan membicarakan hal ini saat suami baru pulang kerja. Carilah momen saat suami sedang santai. Bahkan ada pula yang menyarankan untuk memanfaatkan momen sesaat setelah memadu kasih dengan suami, karena itulah saat otak limbik suami terbuka lebar, jadi pas untuk memasukkan sugesti-sugesti yang positif ke dalam pikirannya :D Dan terakhir, tentu saja, gunakan skill komunikasi produktif yang dipelajari di kelas Bunda Sayang kali ini. Dari obrolan inilah, saya ingin mencoba melatih intensity of eye contact untuk memperoleh izin dari suami.

Saat suami sedang santai di sofa ruang tamu, dan si kecil bermain bersama kakek neneknya, saya hampiri suami. Beliau sedang asyik membaca–entah–apaan di smartphone-nya....

Saya  : "Yang, Tari pingin banget deh, bisa ikut workshop IIP tahun depan [sambil menatap intens ke matanya]. Kalau ada uang cukup, boleh ya Tari ikut, kalau jadinya di Salatiga atau di Singapur?"

Suami : [masih menatap layar smartphone dengan wajah cool tidak bergeming] "'Kan udah dibicarain kemarin. He-eh...."

Saya  : "Iya? Boleh?" [saya engga menyangka suami masih ingat, berarti dia menyimak ya, waktu saya bilang tempo hari, hehehe...] "Yang, Tari lagi dapat tugas IIP lagi nih, melatih eye contact ke pasangan kalau ngobrol..." [saya julurkan wajah saya di antara wajah suami dan smartphone-nya] "Praktekin bareng, yuk!"

Tanpa menanggapi dengan kata-kata, suami akhirnya membalas tatapan saya, lalu seketika memberikan kecupan ke pipi saya. Aaaww.... 💗💗💗

Alhamdulillah ternyata berhasil dengan manis. Bahkan saya bisa membuat tulisan ala-ala fanfic di postingan kali ini. Hihihi.... Suami ternyata tidak setidak peka yang saya duga. Mudah-mudahan selama sisa beberapa hari ke depan, saya bisa melatih terus skill ini sampai terbiasa, dan insya Allah, bisa memotivasi suami juga untuk mau melakukan hal yang sama.

Game Bunsay Level 1 Day 5: Ambil Wudhu untuk Meredam Emosi

Juni 05, 2017 0 Comments
Hasil gambar untuk wudhu

Pada praktik kaidah 7-38-55 di hari kelima kemarin, alhamdulillah aman sentosa, segalanya terkendali.

Ada juga saatnya ketika emosi itu naik saat berinteraksi dengan suami. Kali ini dikarenakan terdapat perbedaan standar kebersihan antara saya dengan beliau. Saat emosi marah itu terasa naik, saya masuk kamar mandi, lalu mengambil wudhu (karena memang kebetulan saya juga mau melaksanakan sholat Ashar). Cessssss..... Amarah yang tadinya bikin panas kepala, dalam sekejap hilang.

Oh, wow, subhanallah!

Saya pun kemudian kehilangan alasan untuk sewot ke suami. Hihihi.... Sisa hari pun kembali aman damai sentosa :D

#level1
#day5
#tantangan10hari
#komunikasi produktif
#kuliahbunsayiip

Minggu, 04 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 4: Saat Si Kecil Rewel

Juni 04, 2017 0 Comments
Hari kemarin, sama seperti hari sebelumnya, tidak ada situasi gawat darurat dalam momen komunikasi saya bersama suami. Setiap aktivitas berjalan aman terkendali. Saya sampai berpikir apakah mungkin saya sudah lulus menguasai kaidah 7-38-55 dan sudah bisa masuk ke skill komunikasi produktif berikutnya, ya? Namun saya putuskan jika sampai hari Minggu ini tetap tidak ada masalah berarti—karena kemungkinan muncul perselisihan adalah di saat weekend, saat saya memiliki waktu yang lama bersama suami—di hari Senin saya akan mulai beralih ke tantangan skill yang lain.

Hanya ada sedikit catatan, yaitu saat sore hari....
Hasil gambar untuk quotes baby cry

Pukul tiga sore, cuaca begitu panas. Cucian baju baru selesai diurus oleh suami. Tugas saya adalah menjemur pakaian di balkon lantai atas. Karena cuaca yang tidak bersahabat, sementara saya juga menemani si kecil yang suka menempel ke mana-mana, maka aktivitas menjemur cucian saya tunda. Disamping itu, cucian piring kotor juga sedang menumpuk di dapur. Saya belum sempat menyucinya karena di pagi harinya saya dan suami pergi keluar rumah. Mood saya untuk beraktivitas beres-beres rumah itu munculnya di pagi hari, khususnya saat anak tidur... Makanya jika agenda pagi hari sudah dipenuhi dengan acara ke luar rumah, maka saya baru bisa melakukan tugas beberes di sore hari, saat cuaca lebih adem.

Sekitar jam 3 sore itulah, setelah menaruh cucian baju ke balkon atas untuk selanjutnya saya jemur, suami masuk kamar dan tidur siang. Saya melanjutkan bacaan buku yang sedang asyik saya nikmati beberapa hari terakhir sambil menemani si kecil Sofie bermain di atas kasur. Dalam waktu satu setengah jam ke depan, saya, suami, dan si kecil sudah harus siap untuk berangkat menuju acara buka bersama teman-teman dosen Unidha. Sementara itu di lain pihak, kondisi cucian piring masih menumpuk dan cucian baju juga belum dijemur.

Menjelang pukul 3.30, Sofie saya susui. Tak lama terasa jeda antara tarikan nafasnya lebih panjang. Saya intip sejenak, tampak Sofie memejamkan matanya. Oh, rupanya si kecil mengantuk. Saya tutup mata saya sambil ikut merilekskan badan; salah satu taktik yang biasa saya lakukan supaya si kecil merasa ibunya ikut tidur bersamanya, sehingga ia akan lekas terlelap, dan saya bisa beraktivitas kemudian. Tapi, aduh, ternyata kondisi badan tidak mendukung saat itu... Ada "panggilan alam" yang membuat saya harus bergegas ke kamar mandi.

Akhirnya, mau tak mau, saya terpaksa menjauhkan diri dari Sofie.... Eh, ternyata dia merengek kencang. Rengekannya tidak berhenti, malah ia ikut bangun dan menunggui saya di depan pintu kamar mandi. Terang saja suami yang sedang enak terlelap jadi terbangun. Saya tak tahu apa yang dilakukan suami, tapi yang pasti ia berusaha menenangkan Sofie, tapi kemudian pasrah membiarkannya yang tidak mau diam, hingga saya keluar dari kamar mandi.

Suami : "Kenapa sih kamu, Nak, sekarang gampang rewel?"
Saya   : "Karena ngantuk ini Bang, belum pulas tidurnya, tapi Tari udah ninggalin...."

Sofie pun saya peluk dan susui kembali di tempat tidur. Tapi karena terbangun hingga berdiri tadi, rupanya matanya tak mau lagi terpejam. Mata bundarnya terbuka sambil terus menatap saya. Ngantuknya hilang, sepertinya. Suami pun akhirnya benar-benar bangun dari tidurnya.

Suami : "Cucian udah kamu jemur? Piring juga?"
Saya   : "Belum yang, dari tadi coba nidurin Sofie.... Tari biasa jemur baju pas Sofie tidur siang, kalau udah jam segini, agak susah...."

Sepanjang kejadian tersebut, saya yang biasanya merasa stres karena pekerjaan menumpuk, sementara ada agenda penting lain yang harus dilakukan dalam waktu dekat, tidak merasakan tekanan seperti itu sama sekali. Jadi selama bercakap-cakap menjawab pertanyaan suami, tidak ada intonasi suara yang terkesan meninggi atau terasa terintimidasi. Alhasil, suami pun tidak sebal saat merespon jawaban saya.

Saya rasa, sekali lagi saya berhasil membiasakan diri saya untuk menjaga intonasi suara saat berinteraksi dengan suami di situasi genting.

#level1
#day4
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Jumat, 02 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 3: Sweet Moment with Hubby

Juni 02, 2017 0 Comments
Sejujurnya tidak ada kejadian khusus di hari lalu yang dapat saya catat di sini. Kemarin seperti biasa suami berangkat ke kantor di pagi hari, lalu saya pun berangkat untuk mengajar siang harinya sampai petang. Kami baru berkumpul lagi menjelang sore hari, namun karena saya sedang ada tamu, interaksi dengan suami pun cukup terbatas. Sementara setelah jam makan malam, suami ada keperluan keluar rumah hingga mendekati tengah malam. Selama waktu perjumpaan yang cukup singkat kemarin, percakapan antara kami berlangsung santai seperti biasa saja.

Oh iya, ada satu perbuatan kecil yang saya lakukan sebelum suami pergi keluar rumah kemarin malam. Selagi kami duduk berdua di kamar, saya tanyakan kembali apakah temannya benar bisa datang ke rumah untuk memperbaiki laptop saya. Suami sih menjawab, "Lihat dulu", dengan acuh. Tapi bagi saya sudah tidak terlalu penting lagi apakah temannya benar bisa datang atau tidak (karena masalah di laptop saya sudah jauh berkurang, dan di kampus pun saya mengetahui ada teman yang kondisi kerusakan laptopnya lebih parah dari saya pasca kebanjiran). Saya katakan padanya kalau saya mengapresiasi tindakannya sehari sebelumnya, yang mana dari luar kesannya dia tidak peduli, tapi ternyata di belakang saya, dia menghubungi temannya untuk meminta bantuan untuk mengatasi masalah laptop saya. Karena di hari berdebat yang lalu saya masih gengsi untuk berterima kasih, maka pada saat kemarin itulah saya ucapkan terima kasih padanya sekaligus memberi suami sebuah ciuman di pipi. 

Namun, ekspresi suami tidak banyak perubahan. Yaa, saya anggap dia menerimanya dengan baik lah.... Hahaha....
Hasil gambar untuk quotes thank you

#level1
#day3
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Kamis, 01 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 2: Masalahmu bukan Masalahku (?)

Juni 01, 2017 0 Comments
Hasil gambar untuk quotes intonation

#level1
#day2
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip 

Kaidah 7-38-55

Dua hari yang lalu, terjadi musibah sekota Padang. Hujan lebat berjam-jam (benar-benar lebat, langit seperti marah, saya pikir) yang turun entah sejak kapan. Saya baru menyadarinya menjelang bangun untuk sahur. Karena si kecil sedang menyusu, saya tertahan untuk bangkit dari kasur. Suami pun mendului. Tapi ternyata... banjir! Rembesan air dari halaman masuk sampai ke dalam kamar. Tingginya sekitar 4-5 cm. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Hal ini berarti dua hal: pertama, hujan sudah berlangsung begitu lama dan curahan airnya begitu deras sehingga saluran air di pekarangan rumah kami tidak sanggup mengalirkan seluruh airnya ke luar, dan kedua, saluran air itu sendiri tersumbat oleh dedaunan kering atau sampah plastik. Dua-duanya betul! Jadilah kami sekeluarga siaga di dini hari tersebut. Suami mendorong air di dalam rumah dengan pendorong air karet semampunya, sementara saya mendudukkan si kecil di atas mainan kuda-kudaan kesayangannya yang bisa didorong ke mana-mana sembari bolak-balik menyiapkan masakan sahur untuk suami. 

Hujan baru benar-benar berhenti sekitar pukul 10 siang. Kota Padang hari itu lumpuh total. Hampir semua akses jalan tertutup karena banjir. Namun alhamdulillah masalah kebanjiran di dalam rumah sudah bisa kami atasi dua jam sebelumnya. Saya perhatikan tidak banyak barang yang perlu perhatian serius pasca tergenangi air. Jadi saya merasa tidak banyak kerugian kami akibat banjir ini.

Namun ternyata saya salah duga. Di malam harinya saya baru menyadari kalau laptop yang saya simpan di dalam tas tangan kulit saya lembab. Ternyata air tetap merembes masuk ke dalam tas yang memang saya letakkan di lantai tersebut dan membasahi sedikit sisi laptop. Saya pun membuka laptop, menyeka sisa air yang menempel di keyboard, dan meletakkan laptop di atas meja semalaman dengan harapan esok hari laptop kering dan bisa saya pergunakan kembali seperti sedia kala.

Pagi harinya, laptop yang tidak bisa menyala itu saya cas. Dugaan saya baterainya habis karena sehari sebelumnya saya habis memakai laptop tersebut cukup lama. Menjelang tengah hari, laptop saya hidupkan dan berhasil! Namun bukan layar pembuka biasa yang saya temui, melainkan layar putih terang, lalu kemudian menjadi hitam kelam dan muncul perintah untuk menjalankan sistem perbaikan. Saya, yang agak ragu harus melakukan apa, karena tidak terbiasa mengutak-atik sistem operasional komputer, bertanya pada suami yang sedang duduk tidak jauh menikmati film di depan komputer.

Baiklah, situasi genting dimulai. Dalam pikiran saya berkelebat banyak pertimbangan sekaligus. Pertama, saya tahu suami tipe orang tidak suka diganggu saat sedang melakukan aktivitas favoritnya, menonton film. Kedua, suami tidak suka didesak untuk melakukan suatu hal yang tidak direncanakan sebelumnya, namun juga tidak akan bergerak kalau tidak diingatkan berulang-ulang. Ketiga, apalagi jika berkaitan dengan pengeluaran yang tidak sedikit (dalam hal ini, ada kemungkinan saya harus ganti laptop). Keempat, laptop ini ibarat nyawa bagi seorang dosen seperti saya, jadi saya harus memperjuangkannya. Kelima, jika saya memutuskan untuk mengganggu aktivitas suami saat itu juga, saya harus menggunakan argumen yang singkat, masuk akal, dan intonasi suara yang tidak meninggi.

Akhirnya saya putuskan untuk mengatakan tentang kondisi laptop saat itu juga. Seperti dugaan saya, suami merasa terganggu, menjawab dengan tidak kooperatif, dan kesal. Kemudian daripada tidak ada solusi yang muncul, saya memutuskan untuk diam, dan memproses sistem perbaikan sendiri. 

Beruntung, hanya dua kali klik, tidak lama kemudian muncul tampilan layar laptop sebagaimana biasa. Saya cek file data perkuliahan saya, alhamdulillah masih ada. Namun saya menemukan ada masalah yang krusial, saya tidak mampu mengetik dengan baik. Dugaan saya masih ada air yang terjebak di dalam keyboard sehingga ada tombol-tombol di sisi bekas terkena air menjadi selalu aktif, padahal tidak saya tekan. Hal ini mengakibatkan tombol lainnya tidak dapat berfungsi.

Dengan kondisi yang seperti ini, kembali saya minta bantuan solusi dari suami. Saya masih mendapat respon yang sama, bahkan penolakan suami lebih alot. Segala alasan keengganannya untuk membantu saya saat itu saya patahkan dengan argumen singkat dan dengan intonasi dan bahasa tubuh yang terkendali. Saya katakan padanya bahwa saya membutuhkan kondisi laptop baik segera, untuk beraktivitas besok di kampus. 

Belum. Belum ada solusi dari beliau.

Dalam kondisi biasa, saya pasti sudah menangis menghadapi ketidakpekaan suami seperti ini. Tapi hari itu, seolah pengalaman saya mengatakan kepada diri saya kalau menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Bisa saja permintaan saya saat itu tidak langsung dijawab oleh suami.... Inilah yang namanya proses, bisa jadi perubahan sikap suami yang saya inginkan baru terbentuk berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan ke depan. Kalau saya menangis, suami justru semakin sebal, merasa terintimidasi, dan hasilnya justru tidak akan baik bagi kami berdua. 

Pada saat ini juga masuk selintas pikiran dalam benak saya. Suami saya sudah selama setahun ini mengalami gangguan mood dan kesehatan akibat masalah di lingkungan kerjanya. Masalah tersebut sangat besar andilnya membentuk sikap defensif dan tidak kooperatif suami di rumah. Saya berusaha mempertimbangkan hal tersebut sehingga saya jadi tidak terlalu makan hati atas sikap suami.

Saya pun memutuskan untuk melakukan hal lain yang saya bisa. Lalu dengan tenang saya minta suami untuk minggir dari komputer karena saya mau meng-input nilai mahasiswa. Tanpa ada keengganan sedikit pun, suami langsung beranjak dari tempat duduknya. Beliau masuk ke dalam kamar. Tidak berapa lama kemudian saya mendengar suara suami yang menelepon temannya yang biasa membantu servis komputer kami. Beliau menceritakan masalah laptop, lalu menanyakan apa yang harus dilakukan, sekaligus membuat janji perbaikan laptop Sabtu depan.

Entah mungkin karena taktik kaidah 7-38-55 saya yang manjur, atau memang karena suami berpikir nantinya komputer rumah akan selalu saya kuasai kalau laptop tidak bisa dipakai (hihi), yang pasti suami ternyata melakukan hal yang saya ingin dia lakukan, meskipun tidak langsung dilaksanakannya saat saya minta. Alhamdulillah....

Game Bunsay Level 1 Day 1: Kendalikan Intonasi Suaramu

Juni 01, 2017 0 Comments
Hasil gambar untuk quotes intonation

Dari sekian banyak pilihan komunikasi produktif yang disediakan di game level 1 kelas Bunsay ini, saya memutuskan untuk memilih Kaidah 7-38-55 untuk saya latih di awal. 

Apakah itu kaidah 7-38-55? Mari saya ulangi lagi penjelasannya:

Albert Mehrabian menyampaikan bahwa pada komunikasi yang terkait dengan perasaan dan sikap (feeling and attitude), aspek verbal (kata-kata) itu hanya 7% memberikan dampak pada hasil komunikasi. Komponen yang lebih besar mempengaruhi hasil komunikasi adalah intonasi suara (38%) dan bahasa tubuh (55%).

Mengapa saya memilih opsi yang ini? Alasan klise perempuan barangkali ya, emosi naik-turun kalau bicara sama suami ^^'. 

Saya dan suami sama-sama berwatak keras kepala, jadi sama-sama keras dalam mempertahankan argumen saat berselisih paham. Dulu, awal-awal nikah, saya lebih suka memendam amarah saya jika kesal dengan sikap suami. Akibatnya, saya bisa menangis sendiri atau mendiamkan suami cukup lama. Lama-kelamaan saya lebih berani untuk beradu pendapat dengan beliau. Ngomel engga berhenti, istilahnya buat para suami kali, ya. Padahal setelah melakukan itu pun, justru membuat suasana makin tidak nyaman, dan tidak menghasilkan jalan keluar yang sama-sama enak untuk kami. 

Saya mungkin harus melakukan cara lain, jika ingin pendapat saya didengar oleh suami. Seperti kata pepatah, pernikahan itu bisa berlanjut bukan dengan mempertahankan kebenaran yang kita yakini itu benar (saat berselisih paham dengan pasangan), melainkan dengan mau mengalah meskipun kita benar. Dengan catatan, bukan berarti kita mau perasaan kita terzolimi begitu saja ya, tapi kita harus punya taktik mengalah untuk (nantinya) menang.

Bagaimana tuh, caranya bisa mengalah untuk menang? Nah, mengenai hal ini, saya rasa strategi komunikasi produktif yang diterangkan di Materi 1 Bunsay inilah jawabannya. Bismillah, dengan mengikuti kelas Bunda Sayang, saya berharap saya bisa mulai memperbaiki cara berpikir dan sikap saya terhadap si ganteng yang (insya Allah) menjadi pendamping seumur hidup saya ini. Jadi, mari kita mulai game tantangan 10 harinya!

#level1
#day1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Situasi emosional di hari pertama ini dimulai kemarin, saat suami meminta saya untuk membeli makanan untuk berbuka puasa. Karena aktivitas saya yang cukup padat (mengurus batita di rumah dan mengajar di kampus), saya memutuskan untuk tidak memasak di rumah. Sebagai gantinya, saya memesan katering rumahan untuk menu makan sehari-hari kami. Sayangnya suami saya tipe yang hanya bisa makan masakan tertentu saja. Hampir semua menu katering tidak cocok buat dirinya. Jadilah setiap menjelang berbuka puasa kami harus membeli menu tambahan di luar rumah.

Sayangnya kemarin itu menjelang waktu berbuka, saya agak lamban dalam beraktivitas. Biasanya pukul lima sore saya sudah siap untuk pergi ke luar mencari menu tambahan bersama suami. Pukul setengah lima, saya baru mulai memasak mi kuning goreng untuk makanan sampingan suami. Sementara itu, si kecil Sofie juga belum saya mandikan. Jadilah suami mengingatkan berulang-ulang supaya saya bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah. Karena didesak inilah simpul nalar saya memendek, sebaliknya emosi saya meninggi. Terjadilah satu perbuatan kecil suami yang saya anggap malah menghambat pergerakan saya, dan ini menyulut emosi saya. Sudah suruh buru-buru eh kok dia malah menghambat begitu aja, pikir saya. Sontak saya mengomelinya dari kamar. Ups, terasa saat itu, wajah saya yang sebetulnya dingin karena habis dibasuh air di kamar mandi, memanas. Wah, ini ya yang terjadi kalau orang emosi, pikir saya lagi. Baru kali itulah saya merasakan wajah memanas gara-gara menahan kesal. 

Saya keluar dari kamar, berpapasan dengan suami yang tampak terkejut dengan kata-kata saya barusan. Beliau pun otomatis meresponnya dengan omelan amarah juga. Saya diam. Saya berusaha mengendalikan diri saya saat itu. Saya coba tidak mendengar omelan suami sampai tuntas dan memasukkannya ke hati demi menjaga emosi saya. Berdasarkan pengalaman, jika saya balas lagi kata-katanya, nanti justru situasi semakin tidak mengenakkan. Saya cobalah strategi baru saya, yaitu diam, menenangkan diri, dan nanti, hadapi suami dengan emosi yang lebih stabil. 

Akhirnya, beberapa detik kemudian kami sudah berada di dalam mobil. Suami diam karena sebal. Untungnya, saya termasuk tipe yang bisa cepat melupakan kejadian tidak mengenakkan dengan seseorang, jika saya mau. Saya pun memulai percakapan normal dengan suami tanpa mengungkit kembali kejadian yang barusan terjadi. Intonasi suara saya lebih riang, dan ekspresi wajah saya lebih santai. Tidak berapa lama, suami menyahuti juga. Awalnya masih dengan raut muka sebal, namun segera berubah menjadi lebih rileks. Obrolan kami pun alhamdulillah berlangsung dengan baik sepanjang perjalanan hingga di rumah seolah tidak ada pertengkaran sebelumnya.

Saya menyimpulkan kemampuan saya mengendalikan keadaan tadi, ditambah sikap saya selanjutnya yang lebih kooperatif dengan suami saat di rumah memberikan hasil yang lebih baik. Kalau saja di mobil saya menuruti emosi dengan lanjut mengomel mengungkit-ungkit kekeliruan suami, pasti justru akan saling mengotori hati kami berdua. Dan tentu saja penyelesaiannya tidak akan semudah ini.