Cincopa Gallery

...

Kamis, 01 Juni 2017

Game Bunsay Level 1 Day 1: Kendalikan Intonasi Suaramu

Hasil gambar untuk quotes intonation

Dari sekian banyak pilihan komunikasi produktif yang disediakan di game level 1 kelas Bunsay ini, saya memutuskan untuk memilih Kaidah 7-38-55 untuk saya latih di awal. 

Apakah itu kaidah 7-38-55? Mari saya ulangi lagi penjelasannya:

Albert Mehrabian menyampaikan bahwa pada komunikasi yang terkait dengan perasaan dan sikap (feeling and attitude), aspek verbal (kata-kata) itu hanya 7% memberikan dampak pada hasil komunikasi. Komponen yang lebih besar mempengaruhi hasil komunikasi adalah intonasi suara (38%) dan bahasa tubuh (55%).

Mengapa saya memilih opsi yang ini? Alasan klise perempuan barangkali ya, emosi naik-turun kalau bicara sama suami ^^'. 

Saya dan suami sama-sama berwatak keras kepala, jadi sama-sama keras dalam mempertahankan argumen saat berselisih paham. Dulu, awal-awal nikah, saya lebih suka memendam amarah saya jika kesal dengan sikap suami. Akibatnya, saya bisa menangis sendiri atau mendiamkan suami cukup lama. Lama-kelamaan saya lebih berani untuk beradu pendapat dengan beliau. Ngomel engga berhenti, istilahnya buat para suami kali, ya. Padahal setelah melakukan itu pun, justru membuat suasana makin tidak nyaman, dan tidak menghasilkan jalan keluar yang sama-sama enak untuk kami. 

Saya mungkin harus melakukan cara lain, jika ingin pendapat saya didengar oleh suami. Seperti kata pepatah, pernikahan itu bisa berlanjut bukan dengan mempertahankan kebenaran yang kita yakini itu benar (saat berselisih paham dengan pasangan), melainkan dengan mau mengalah meskipun kita benar. Dengan catatan, bukan berarti kita mau perasaan kita terzolimi begitu saja ya, tapi kita harus punya taktik mengalah untuk (nantinya) menang.

Bagaimana tuh, caranya bisa mengalah untuk menang? Nah, mengenai hal ini, saya rasa strategi komunikasi produktif yang diterangkan di Materi 1 Bunsay inilah jawabannya. Bismillah, dengan mengikuti kelas Bunda Sayang, saya berharap saya bisa mulai memperbaiki cara berpikir dan sikap saya terhadap si ganteng yang (insya Allah) menjadi pendamping seumur hidup saya ini. Jadi, mari kita mulai game tantangan 10 harinya!

#level1
#day1
#tantangan10hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Situasi emosional di hari pertama ini dimulai kemarin, saat suami meminta saya untuk membeli makanan untuk berbuka puasa. Karena aktivitas saya yang cukup padat (mengurus batita di rumah dan mengajar di kampus), saya memutuskan untuk tidak memasak di rumah. Sebagai gantinya, saya memesan katering rumahan untuk menu makan sehari-hari kami. Sayangnya suami saya tipe yang hanya bisa makan masakan tertentu saja. Hampir semua menu katering tidak cocok buat dirinya. Jadilah setiap menjelang berbuka puasa kami harus membeli menu tambahan di luar rumah.

Sayangnya kemarin itu menjelang waktu berbuka, saya agak lamban dalam beraktivitas. Biasanya pukul lima sore saya sudah siap untuk pergi ke luar mencari menu tambahan bersama suami. Pukul setengah lima, saya baru mulai memasak mi kuning goreng untuk makanan sampingan suami. Sementara itu, si kecil Sofie juga belum saya mandikan. Jadilah suami mengingatkan berulang-ulang supaya saya bergegas menyelesaikan pekerjaan rumah. Karena didesak inilah simpul nalar saya memendek, sebaliknya emosi saya meninggi. Terjadilah satu perbuatan kecil suami yang saya anggap malah menghambat pergerakan saya, dan ini menyulut emosi saya. Sudah suruh buru-buru eh kok dia malah menghambat begitu aja, pikir saya. Sontak saya mengomelinya dari kamar. Ups, terasa saat itu, wajah saya yang sebetulnya dingin karena habis dibasuh air di kamar mandi, memanas. Wah, ini ya yang terjadi kalau orang emosi, pikir saya lagi. Baru kali itulah saya merasakan wajah memanas gara-gara menahan kesal. 

Saya keluar dari kamar, berpapasan dengan suami yang tampak terkejut dengan kata-kata saya barusan. Beliau pun otomatis meresponnya dengan omelan amarah juga. Saya diam. Saya berusaha mengendalikan diri saya saat itu. Saya coba tidak mendengar omelan suami sampai tuntas dan memasukkannya ke hati demi menjaga emosi saya. Berdasarkan pengalaman, jika saya balas lagi kata-katanya, nanti justru situasi semakin tidak mengenakkan. Saya cobalah strategi baru saya, yaitu diam, menenangkan diri, dan nanti, hadapi suami dengan emosi yang lebih stabil. 

Akhirnya, beberapa detik kemudian kami sudah berada di dalam mobil. Suami diam karena sebal. Untungnya, saya termasuk tipe yang bisa cepat melupakan kejadian tidak mengenakkan dengan seseorang, jika saya mau. Saya pun memulai percakapan normal dengan suami tanpa mengungkit kembali kejadian yang barusan terjadi. Intonasi suara saya lebih riang, dan ekspresi wajah saya lebih santai. Tidak berapa lama, suami menyahuti juga. Awalnya masih dengan raut muka sebal, namun segera berubah menjadi lebih rileks. Obrolan kami pun alhamdulillah berlangsung dengan baik sepanjang perjalanan hingga di rumah seolah tidak ada pertengkaran sebelumnya.

Saya menyimpulkan kemampuan saya mengendalikan keadaan tadi, ditambah sikap saya selanjutnya yang lebih kooperatif dengan suami saat di rumah memberikan hasil yang lebih baik. Kalau saja di mobil saya menuruti emosi dengan lanjut mengomel mengungkit-ungkit kekeliruan suami, pasti justru akan saling mengotori hati kami berdua. Dan tentu saja penyelesaiannya tidak akan semudah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar